2019: Satu tahun bersamamu (Bagian 1)



Tahun 2019 adalah tentang cerita dimana saya menjalani keseharian baru sebagai seorang suami dan calon ayah. Tahun ini adalah perjalanan setahun saya setelah menikah dengan Tazkia Izzati. Tanggal 30 Desember 2019, atau dua hari sebelum pergantian tahun, umur pernikahan kami genap satu tahun.

Tentu sebagai pasangan baru, di tahun pertama ini banyak hal berkesan yang telah kami lalui. Sebuah pengalaman hidup berdua yang sebelumnya tak pernah kami lalui. Banyak rasa yang telah dilalui terutama buatnya, yang harus menyesuaikan tinggal di kota ini, dengan kewajiban barunya sebagai ibu rumah tangga. Waktu setahun adalah waktu yang tak singkat, banyak hal yang telah kami lalui sebagai pasangan, dan tentunya banyak hasil yang kita petik di akhir perjalanan tahun ini. Dan alhamdulillah pada akhirnya di penghujung tahun 2019 kita telah melaluinya dengan baik, atas izin Allah, dengan segala hikmah dan pengajarannya.

Tahun ini juga menandai perjalanan akademik saya sebagai seorang pelajar di Jepang. Alhamdulillah di tahun ini saya telah menyelesaikan studi master saya selama dua tahun, dan kemudian melanjutkan studi lanjut doktor dalam setidaknya tiga tahun kedepan. Tentunya perjalanan menuju wisuda merupakan perjuangan yang tak mudah. Namun Allah mudahkan jalan saya untuk kemudian dapat melalui salah satu fase dalam karir akademik saya dengan baik.

Dalam tulisan ini saya akan tulis satu beberapa momen penting yang telah saya lalui selama tahun 2019.

1. Berdua ke Jepang
Setelah resmi menikah di penghujung tahun 2018, saya langsung mengajak istri saya untuk tinggal bersama saya di Jepang. Jeda waktu yang cukup sempit, dari hari pernikahan dan flight kembalinya ke Jepang, membuat kami tak bisa mengurus visa keluarga (dependent) untuk istri. Sehingga kami hanya menggunakan visa kunjungan wisata yang sebelum pernikahan telah diurus, agar istri tetap dapat berangkat bersama saya dan kemudian mengurus visa dependent setelah di Sendai. 

Setelah menghabiskan waktu 1 minggu di tempat tinggal orang tua saya di Ngawi dan di Jakarta, kami berangkat ke Jepang pada pertengahan Januari dari Soekarno Hatta. Karena kami menggunakan Garuda yang mana kami dapat bagasi masing-masing maksimal 46 kg, kami manfaatkan seluruhnya untuk bagasi-bagasi kami. Di kesempatan itu kami juga manfaatkan untuk membuka jasa titip dari Indonesia ke Sendai, untuk menutupi sisa kuota bagasi. Namun, pada akhirnya kami harus mengeluarkan sebagian barang-barang jasa titip, karena bagasi kami over

Selain cerita over bagasi, kami juga sempat mengalami kesulitan ketika petugas meminta bukti receipt flight pulang-pergi istri, karena statusnya dengan visa wisata. Saya sempat panik, istri tak dapat berangkat ke Jepang atas alasan itu. Petugas check-in mempermasalahkan tidak adanya tiket kembali ke Indonesia yang dikarenakan memang ia tak akan kembali ke Indonesia dan mengurus visa tinggal setelah di sana. Sedangkan tiket yang kita gunakan dalam mengurus visa adalah tiket yang belum terbayarkan. Hingga akhirnya kami harus mengisi surat pernyataan bahwa pihak Garuda tidak akan bertanggung jawab jika nantinya istri tidak diizinkan masuk ke Jepang setelah di Bandara Haneda. Dan akhirnya istri diizinkan untuk terbang. Alhamdulillah.


 2. Sebulan winter bersamamu
Di jepang kami tinggal di sebuah apartment di pinggiran kota Sendai, dekat dengan kampus, dalam sebuah kamar sempit yang didesain hanya untuk satu orang (single). Kami harus menunggu untuk pindah ke ruangan yang lebih besar dan cukup untuk keluarga.

Istri yang masih harus menyesuaikan dengan kehidupan barunya sebagai ibu rumah tangga, masih harus berjuang dengan cuaca ekstrem dan kesehariannya yang tak lagi bekerja. Memang sangat berat. Itu semua harus dilakukan bersamaan. Bahkan beberapa kali ia mengatakan ingin pulang dan menyampaikan curahan hatinya kepada saya.

Namun setelah sekitar seminggu hingga dua minggu, ia telah melakukan banyak penyesuaian dan tampak lebih terbiasa dibandingkan sebelumnya. Kita menghabiskan musim winter bulan januari bersama, dan menjalani keseharian sebagai sebuah pasangan baru (yang masih harus menyesuikan satu sama lain) di perantauan jauh dari kemudahan dibandingkan saat kita tinggal di Indonesia.

Setelah lebih dari dua minggu tinggal. Cerita tentang visa itu kembali.
Kami telah mengajukan izin tinggal sebagai dependent resident untuk istri, 1 minggu setelah kedatangan kami. Itu berarti kita punya waktu 3 minggu untuk menyelesaikannya, melalui kantor imigrasi tentunya. Keputusan kami ini berawal dari pertimbangan ketika melihat beberapa pengalaman kawan-kawan di Sendai mengajak istri dengan skema yang sama persis.
Mereka bisa mendapatkan izin tinggal istri dalam waktu 2 minggu saja, yang mana jika perlakuannya sama saya dan istri juga akan bisa mendapatkan izin itu sebelum visa wisata istri habis.
Namun, ternyata tidak.
Visa wisata istri akan habis dalam hitungan hari, tapi izin tinggal dalam bentuk residence card melalui Certificate of Eligibility (COE) belum juga jadi. Saat kami mengajukan COE, kami telah mendapatkan teguran karena skema dengan telah hadirnya istri di Jepang dengan menggunakan visa wisata tidak termasuk dalam SOP. Apalagi pengajuannya hanya 3 minggu sebelum visa habis. Saat itu mereka bilang hampir mustahil COE jadi sebelum masa visa habis, dan dengan kata lain istri saya harus pulang kembali ke Indonesia terlebih dahulu. Karena kealpaan saya menggali info dari kawan-kawan dan regulasi yang ada, tentu saya tidak tahu tentang hal itu.

Sayapun putuskan untuk membeli tiket untuk istri beberapa hari sebelum visa habis. Tentunya masih dengan harapan bahwa COE akan jadi sebelum visa habis. Namun, akhirnya kami harus gunakan tiket itu untuk istri pulang karena tak ada harapan lagi ketika H-1 sebelum masa akhir tinggal, COE tak kunjung sampai di kotak post kami.

Itu salah satu keputusan dan momen yang sangat berat di awal tahun 2019 ini. Baru sebulan saja istri tinggal bersama saya di Jepang, Ia akhirnya harus kembali lagi ke Indonesia.


[to be continued]



1 komentar:

Instagram