Mulai bulan oktober tahun 2017 ini, saya berkesempatan untuk menginjakkan kaki di Jepang, untuk melanjutkan studi S-2 Master di Graduate School of Environmental Studies - International Environmental Leadership Program Tohoku University dengan sponsor beasiswa MEXT Jepang. Topik riset yang saya usulkan untuk studi master saya adalah berkaitan dengan efek climate change pada sumber daya air, khususnya tentang efek extreme climate events pada sumber daya air dan aspek-aspek turunannya, salah satunya adalah agriculture. Sedikit berbeda dengan proposal pertama yang saya usulkan saat proses pendaftaran, yakni tentang efek climate change pada meningkatnya dampak bencana banjir di suatu wilayah. Namun secara umum tak jauh-jauh dari air, yang juga masih cukup selaras dengan skripsi S-1 saya di UGM.
Jepang merupakan salah
satu negara maju yang banyak menghasilkan peneliti-peneliti dan riset yang bisa
dibilang berpengaruh di dunia penelitian skala global. Hal itu memang saya
rasakan sejak saya berada di sini, dan saya melihat jarak yang cukup jauh
dengan Indonesia. Saya menemukan banyak hal tentunya, yang tak dapat saya
temukan di Indonesia, khususnya kampus saya saat S-1. Disini pula saya
berkesempatan untuk berada di lingkungan penelitian yang sangat mendukung, dan
secara fisik (literally) ada di lingkungan para akademisi-akademisi yang banyak
menghasilkan karya penelitian luar biasa yang telah di-publish di jurnal
kenamaan dunia seperti Nature dan Elsevier.
Selama masa studi saya
di sini, saya dibawah asuhan profesor yang berafiliasi di Civil and
Architecture Engineering. Itu pula yang membuat saya mempunyai dua afiliasi
sekaligus engineering dan environment. Laboratorium dimana saya berada adalah di
jurusan sipil, sedangkan kuliah dan kegiatan belajar mengajar adalah di Graduate
School of Environmental Studies. Dengan keberadaan saya di dua bidang keilmuan
tersebut, semakin menambah wawasan keilmuan saya di bidang sipil itu sendiri (yang memang basic keilmuan saya di S-1), serta tentang wawasan keilmuan
lingkungan, dimana cukup baru bagi saya (walaupun saya cukup familiar dengan
terminologi tersebut karena nama jurusan S-1 saya dulu ada embel-embel
“Lingkungan”). Anyway, dua kombinasi tersebut lah yang membuat saya lebih terbuka
pada sudut pandang yang baru, dimana engineering khususnya tentang keairan tak
melulu sekedar infrastruktur tapi juga tentang bagaimana menjaga dan
menciptakan sustainability dari sudut pandang lingkungan (environment).
Beberapa waktu lalu,
sempat ada kawan yang bertanya, "sistem belajar di sana gimana sih?" Nah, jadi
berdasarkan pengalaman saya disini selama dua setengah bulan kuliah, untuk
sistem pendidikan master (in my case) lebih pada diskusi, menulis, dan
presentasi. Secara umum dosen lebih mengarahkan kita untuk berpikir kritis dan
menuangkan ide dalam tulisan dan presentasi atau sekedar kuis singkat seusai
kelas. Karena program yang saya ikuti ini adalah program international, dimana
peserta kelasnya sebagian besar berasal dari negara yang berbeda-beda, jadi kami
bisa saling bertukar ide tentang masing-masing pengalaman di negara
masing-masing. Untuk kelas di program saya, sebagian besar
yang mendominasi adalah mahasiswa asal china dan negara kita, Indonesia. Jadi
kalau digabung, mahasiswa Indonesia sama china bisa sampai tiga per empat dari
total peserta kelas. Bahkan bisa jadi saat sesi diskusi kelompok, semuanya dari
Indonesia (jadi sekalian aja diskusi pakai bahasa Indonesia haha). Sisanya
berasal dari bangladesh, asia tenggara seperti thailand, malaysia, laos,
vietnam, lalu rusia, kuwait, beberapa negara afrika seperti kenya, maroko, lalu
kuwait, korea, mongolia, sebagian kecil dari negara amerika selatan dan
kepulauan fiji. Tapi tetap, kalau negara-negara itu digabung, china dan
Indonesia tetap paling banyak. Haha.
Dari pengalaman dua
setengah bulan ini, saya mendapatkan wawasan baru yang belum saya dapat saat di
Indonesia tentang lingkungan, yakni melalui kuliah, diskusi dan presentasi.
Namun, bicara tentang bobot akademik (tentang pengakuan kapasitas akademik),
kegiatan perkuliahan tersebut nampaknya hanya menjadi bonus plus-plus kredit
dan tambahan wawasan. Pengakuan akademik yang "haqiqi" di Jepang -umumnya dan
Tohoku University -khususnya, adalah sejauh mana pencapaian RISET-mu. Kamu tak akan pernah
diakui dan berhasil dalam kelulusan sebelum menuntaskan riset yang telah teruji
kelayakan dan orisinalitasnya. Selama menjalani perkuliahan efektif hingga
setahun ini (dua semester awal), saya harus tetap fokus pada dan menempatkan
riset di urutan prioritas pertama, setelah kuliah dan kegiatan-kegiatan yang
lain. Itu karena moto universitas saya adalah Riset first, jadi saya harus
spending time lumayan banyak untuk fokus pada riset, instead of malah sibuk
sama tugas kuliah. Seperti halnya di masa-masa awal ini, rata-rata saya
menghabiskan waktu untuk membaca paper publikasi untuk meng-establish proposal
riset bisa hampir 8 jaman per-hari, dibandingkan kuliah yang hanya sekali dua
kali sehari, masing-masing satu setengah jam. Dan untuk mengejar target
mingguan meeting dengan sensei untuk diskusi, untuk saya pribadi saya harus
melakukan itu, sebelum nantinya tertinggal dan terancam untuk seminar progress
yang diadakan tiap semester.
Begitulah aktivitas
saya di sini. Terkait kebiasaan tiap harinya, saya biasanya berangkat rata-rata
jam 9 pagi, karena memang memang jam pertama kuliah paling pagi di sini jam 9.
Pun memang kebiasaan orang jepang secara umum, berangkatnya lebih siang dari
pola Indonesia (walaupun tak bisa digeneralisir). Ada juga, banyak yang
sensei-sensei yang berangkat pagi, sekitar jam setengah 8. Tapi fyi, saat
masa-masa winter sekarang ini, matahari terbitnya sekitar jam 7 pagi gaes. Jadi
kalau berangkat pagi jam 7 di sini, itu kaya berangkat jam setengah 6 pagi
kalau di Indonesia. Haha, pagi banget kan. Sedangkan untuk pulangnya, rata-rata
saya pulang jam 9 an malam (normally). Untuk kebiasaan orang jepang, mereka
biasa pulang cukup larut malam (walaupun ini juga ga bisa digeneralisir juga sih).
Tapi memang typical mereka yang saya perhatikan selama ini, berangkat agak
siang atau bahkan sangat siang, dan pulang larut atau bahkan sangat larut
menjelang pagi, atau malah menginap di lab, kalau lagi banyak pekerjaan. Ya
begitulah kehidupan akademik disini. Oh ya, tantangan terberat lainnya dari
kebiasaan pulang-pergi kampus adalah ketika harus menembus dinginnya udara,
apalagi saat musim winter saat ini, apalagi pula yang pulang naik kendaraan
yang memungkinkan tertiup angin seperti motor, sepeda, atau jalan. Harus pakai
pakaian tahan angin, dingin, dan tebal, sebelum tepar kedinginan. Untuk kasus saya,
moda transportasi saya adalah sepeda, dan kereta bawah tanah (subway),
langganan. Jadi dari apartemen naik sepeda ke stasiun subway, lalu naik subway
ke kampus Aobayama (kampus dimana lab dan tempat kuliah saya berada). Dan
ketika pulang khususnya saat tengah malam, saya harus siap menembus dinginnya
malam dengan menggunakan sepeda.
Ya begitulah, cerita
tentang kehidupan akademik dan sedikit tentang keseharian saya disini. Kurang
lebih sebenarnya ga beda jauh kok dari Indonesia. Bedanya harus berjuang lebih keras
dikit aja, sama banyak-banyakin baca dan dan rajin ngerjain riset, karena standar disini
beda dengan di Indonesia, dimana originalitas dan publikasi sangat penting. Lalu
bedanya lagi, untuk kehidupan sehari-hari, kita harus rajin masak disini, buat
bekal makan siang di kampus, biar bisa agak ngirit dan terjaminnya makanan dapat meluncur lezat di lidah (karena masakan sendiri selalu yang terbaik). Lalu harus rajin-rajin sepedaan (kalau ada) dan jalan kemana-mana.
Walaupun bisa beli motor sih (atau bahkan mobil kalau kaya, seperti teman-teman dari bangladesh dan malaysia, ups), tapi jadi ga ada
bedanya dong sama di Indonesia kalau pakai kendaraan pribadi. So, bagi kawan-kawan yang berminat kuliah di
luar negeri seperti Jepang, harus siap-siap memulai pola keseharian yang baru, yang
nampaknya harus sedikit banyak adaptasi dengan iklim, iklim udara, iklim kultur atau kebiasaan sehari-hari dan iklim pendidikan di sini.
Hachiman, 11 December
2017
00.50 JST
00.50 JST
Kalau masjid dan makanan halal gimana Vem? Sama katanya ada peraturan pemisahan sampah sampai berapa macam gitu ya?
BalasHapusJawabnya nanti sekalian ak nulis tentang topik itu ya voo, haha. Hopefully soon.
HapusThanks vo for asking.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus