Keseharian di Jepang: Keseimbangan

Karena momen-momen yang terjadi beberapa bulan belakangan ini, nampaknya saya harus mendefinisikan kembali kegiatan sehari-hari saya sebagai seorang mahasiswa dengan tuntutan akademik dan di sisi lain sebagai seorang individu yang berhak memilih jalan hidupnya sesuai koridor yang telah ditentukan.


Hidup di negara asing seperti Jepang adalah pengalaman yang sangat unik, dimana kita bisa mendapat pengalaman apa yang tak bisa kita dapatkan di negara asal kita. Bukan dari segi teknologi atau ilmu pengetahuan (karena itu sudah terlalu mainstream untuk dibicarakan, bukan?), tapi lebih pada tentang kehidupan sosial dan spiritual yang lebih menarik dan menantang untuk dibahas dan dipelajari, setidaknya bagi saya.

Jepang adalah salah satu negara maju dengan segala karakteristiknya. Sangat berbeda dengan negara-negara maju di Eropa, Jepang masih memiliki nilai kultural yang sangat kuat. Kultural? Mungkin yang saya maksud lebih pada pola norma sosial dan interaksi. Contohnya, misalkan tentang metode bagaimana anda sebagai orang asing (dari luar jepang) bisa dekat dan dijadikan sahabat oleh kawan Japanese? Bagaimana orang jepang mengenal anda? Bagaimana penilaian Profesor anda terhadap kita sebagai mahasiswanya? Apakah hanya berdasarkan hasil ataukah lebih pada sejauh mana keberadaan anda di lab (jika kondisinya memang kerja di lab bukan kewajiban, misal riset hanya dengan program komputer sehingga bisa dilakukan di rumah)? Seringkah anda terlihat dilab? Atau selama anda mempunyai hasil yang baik tanpa hadir di acara-acara nonformal lab seperti misal party dlsb anda sudah cukup disenangi? Nah, jawaban jawaban-jawaban di atas mungkin bisa menjadi pembeda Jepang dengan negara-negara lainnya. Maaf mungkin bagian ini sangat subjektif dan sulit dipahami, Hahaha.

Selama disini, saya mencoba mengamati bagaimana kawan-kawan lab saya bekerja, berinteraksi dan membangun spirit, yang sebagian besarnya selalu membuat saya tertarik untuk terus mengamatinya. Tentunya saya bukan ahli ilmu sosial atau psikologi, yang bisa membuat analisis yang baik, akurat dan berdasarkan teori untuk hal-hal di atas, namun seperti yang biasa saya lakukan sebelum-sebelumnya di Indonesia, saya selalu tertarik untuk terus belajar dengan membangun ikatan sosial dengan orang-orang baru di sekitar saya dan di waktu yang sama banyak belajar dari pola berpikir dan perilaku mereka, dan kemudian beberapa yang baik dan inspiratif saya duplikasi dan kalibrasi sesuai dengan kebutuhan dan kepribadian saya. Masih abstrak ya? Haha, maafkan saya yang terlalu sering menggunakan bahasa dan ekspresi saya sendiri yang kadang tak ada dalam kamus teman-teman semua.

Baik, sebenarnya saya ingin cerita aja sih, apa yang saya rasakan setelah 5 bulan tinggal di Sendai, Japan. Yakni lebih tentang pola sosial dan interaksi sehari-hari, yang bisa jadi nyambung atau tidak dengan narasi sebelumnya di atas, tapi semoga kalian bisa menemukan benang merahnya.
Jadi ceritanya, saya telah tinggal selama 5 bulan di Sendai Jepang, yang merupakan sebuah kota kecil di bagian utara Jepang dimana Universitas saya berada, sebagai seorang mahasiswa Master Jurusan Lingkungan dan Civil Engineering, yang saat ini menjalani riset Simulasi (bukan eksperimen model laboratorium) di bidang lingkungan keairan dan bencana banjir. Berbeda dengan di Indonesia, disini saya lebih banyak nge-lab dari pada kuliah. Bahkan bisa dikatakan bahwa “kuliah tidak terlalu penting, yang lebih penting adalah riset”. Setiap hari berangkat ke kampus, langsung ke lab. Gitu aja terus tiap harinya, wkwk. Terus ada pilihan lain ga? Tentu ada. Sebagai seorang mahasiswa yang tidak melakukan eksperimen atau pemodelan fisik laboratorium, saya sebenarnya bebas saja mau ngerjain riset dimanapun, asal ada laptop/komputer, karena saya gunakan atau membuat program simulasi. Nah, terus kenapa tiap hari ke lab? Nah ini, salah satu jawabannya adalah tersirat di paragraf ke-3. Wkwk.

Berkecimpung dengan komputer setiap hari, memandangnya hingga kadang 10 jam perhari, adalah salah satu tantangan buat saya pribadi. Yang saya bicarakan disini bukanlah tentang keluhan atas kerasnya pola studi di sini ataupun keluhan atas rasa lelah untuk menjalankan research sebagai seorang mahasiswa master, namun, lebih tentang pelajaran yang saya peroleh dari pilihan saya sendiri untuk menjadi tipe student yang seperti saya sebutkan di atas. Terkadang saya ingin menertawakan diri saya sendiri, ketika saya melakukan hal yang sebelumnya saya anggap konyol dan lucu, yakni menghabiskan waktu bahkan 12 jam sehari hanya untuk berinteraksi dengan robot dan hal-hal yang sangat teknis. Tapi kenyataannya saya sering mengalaminya. Ada jeda namun hanya untuk sholat dhuhur, ashar magrib dan makan siang, dan obrolan santai dengan teman-teman ketika jalan ke tempat sholat (yang hanyalah ruang kosong di rooftop gedung). Namun, alhamdulillah saya masih sangat paham apa yang saya lakukan selama ini, dan masih dalam batas yang telah saya tetapkan. Seperti halnya yang saya sampaikan saat obrolan santai saya dengan Mas Eilif, teman se-lab saya, ketika membicarakan betapa ekstremnya pola kerja Japanese dan beberapa teman-teman Indonesia yang studi disini, “Tenang mas, kalo saya masih sadar kok apa yang saya lakukan selama ini.”

Saya selalu berusaha memahamkan diri saya sendiri untuk, tahu, sadar, dan selalu ingat untuk mendasarkan seluruh apa yang saya lakukan pada tujuan baik, ibadah dan jangka panjang. Di sisi yang lain, apa yang banyak orang lakukan disini, dengan menjadi sangat sibuk dengan kegiatan akademik, sampai-sampai hari-harinya hanya diisi oleh riset, bahkan ada yang menginap di lab berminggu-minggu (ini gokil banget), adalah juga merupakan bentuk ikhtiar untuk menjadi manusia yang bermanfaat untuk lingkungan sekitar melalui jalan ilmu pengetahuan. Maka mengisi diri dengan kapasitas ilmu bisa dikatakan sebagai jalan kita beribadah untuk tujuan jangka panjang tersebut. Bahkan jika harus menjalani hidup yang sangat sulit hingga kehilangan ‘hari-hari’ kita yang masih wajar, namun tentu ibadah dan amalan tetap perlu ditegakkan.
Tentunya saat ini, saya belum mengalami kejadian separah itu hingga nginep berhari-hari di lab. Belum? Ya semoga saja tidak, haha. Karena saya masih ingin menjadi pengemudi yang baik terhadap diri saya sendiri, hingga tak keluar terlalu jauh dari jalan yang ingin saya lalui. Eh, tapi apakah dengan menjadi seperti itu adalah melenceng jauh dari jalan? Hmmm, menarik.

Bagi teman-teman yang memang harus mengerjakan riset di lab, menurut saya sah-sah saja jika mereka harus banyak menghabiskan waktu bahkan hampir lebih dari 12 jam eksperimen di lab. Jika itu memang tuntutan riset dan menentukan kelulusan pastinya. Karena memang tujuan kita kesini adalah belajar dan riset untuk mendapatkan ilmu dan predikat kelulusan. Dan lagipula, sebenarnya hanya sebagian kecil saja yang kemudian karena sibuknya di lab hingga jarang sekali terlihat ketika kumpul Persatuan Pelajar Indonesia. Sebagian besar dari mereka, masih sering terlihat kok di acara-acara, bahkan banyak juga yang masih menyempatkan selalu sholat Jamaah di masjid Sendai, tiap shubuh dan isya dan dhuhur, ashar, magrib di kampus secara jamaah. Namun yang berbahaya, menurut saya, adalah ketika gara-gara saking sibuknya riset, sampai meninggalkan dan kehidupan sosial they used to be. Hal ini adalah salah satu yang saya amati di sini, ketika sebuah tuntutan riset dan pekerjaan bisa membuat orang kehilangan “sebagian” atau bahkan hampir seluruh sisi kehidupan yang lebih substansial. Di lain sisi, saya yang tidak harus terjadwal berangkat dan pulang lab, seharusnya bisa lebih menata jadwal dan pola keseharian dimana saya merasa senyaman mungkin. Lagipula Profesor saya juga tidak mengharuskan saya setiap hari ke kampus, atau bahkan menentukan jam datang dan pulang. Profesor saya lebih profesional saja, asalkan kita bisa menghasilkan result yang baik, mau bagaimanapun pola kerja kita bukan menjadi masalah. Hanya saja, untuk agenda-agenda nonformal lab, seperti bersih-bersih lab, party dlsb saya harus memprioritaskan datang, karena ya itu tadi, ada sisi penilaian secara kultural disini (lagi-lagi ini subjektif). So, secara teknis saya dalam hal ini punya lebih banyak peluang untuk mengembangkan kehidupan saya di luar akademik. Tapi juga ga berarti lebih banyak di luar lab nya, karena bagaimanapun riset tetap harus jalan, well-performed, dan kita disini juga untuk tujuan tersebut. 

Hal itulah yang saya wanti-wanti pada diri saya sendiri beberapa bulan terakhir ini. Seperti pada tulisan saya sebelumnya, saya akan berusaha memulai kembali petualangan sosial dan spiritual yang biasa saya upayakan sebelumnya, dengan cara saya sendiri, disamping akademik. Yakni salah satu langkah pertamanya dengan memperbaiki dan mengatur sedemikian rupa pola keseharian saya disini serta menambah efektifitas kerja dan di lain sisi juga menambah intensitas interaksi saya dengan orang-orang baik di sekitar saya baik itu, Japanese, lingkungan international dan yang lebih penting kawan-kawan seperantauan Indonesia, dalam kegiatan hobby, olahraga, organisasi dan yang terpenting perihal spiritual-keagamaan. Jika selama ini rajin nge-lab, untuk kemudian interaksi gak boleh kalah rajin. Interaksi tak hanya sekedar fisik, tapi juga hati dan dalam wujud nyata, bukan maya di sosial media. Karena saya telah sadari betul bahwa itulah salah satu bahan bakar semangat saya selama ini.

Tulisan ini saya buat tak lain adalah untuk menjadi pengingat diri saya sendiri dan syukur-syukur juga untuk teman-teman yang tengah mengalami hal yang sama. Semoga Allah memudahkan kita semua.

By the way, baru kali kemarin saya merasa cukup sedih (halah) berpisah dengan salah satu temen Japanese. Jadi ada salah satu teman lab Japanese sudah harus caw meninggalkan lab karena telah graduated, dan kemarin adalah hari terakhirnya di lab kita. Selama ini hanya dia Japanese yang paling woles dan yang paling bisa diajak interaksi dan bercanda. Setelah ini mungkin agak sulit membercandai Japanese yang lain, karena sebagian besar lebih sibuk pada pekerjaan masing-masing. Sayonara Sukegawa-san!

Saturday, 24 March 2018
While waiting for PPIS farewell party

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram