Menilik Kembali Cerita (2)

Kepindahan saya ke kota Ngawi kala itu, membuat saya lebih merasa lebih nyaman dan cocok dengan segala budaya dan karakternya. Proses adaptasi dapat dibilang cukup singkat. Saya hanya berusaha langsung menyesuaikan ke dalam lingkungan dimanapun saya berada. Penyesuaian kegiatan akademikpun juga tak terlalu bermasalah. Secara kualitas sebenarnya juga hampir-hampir sama, walaupun Ngawi tak semaju Banyuwangi. Entah bagaimana, Saya lebih mudah untuk beradaptasi dengan segala hal yang ada di kota itu, dibandingkan dengan saat di Banyuwangi, bak pulang ke kampung halaman, yang memang sebenarnya memang kota dimana keluarga besar kami (dari ibu) berada.
Rumah Ngawi
Saat SMP, saya tak banyak aktif berkegiatan di OSIS maupun Pramuka, yang merupakan dua ekstrakurikuler yang katanya paling keren di SMP saya saat itu. Ekstrakurikuler yang saya ikuti hanyalah pingpong, yang sebenarnya juga tidak begitu aktif menyelenggarakan latihan. Saat itu saya hanya mencoba aktif di kelas saja dan tidak terlalu tertarik untuk aktif berkegiatan di luar akademik.

Sedangkan untuk kegiatan di luar sekolah, sejak kelas 2, saya bergabung ke salah satu Sekolah Sepak Bola yang berkandang di lapangan alun-alun kota Ngawi. Dari situlah saya mulai menekuni latihan sepak bola secara formal dan beberapa kali mengikuti kompetisi dan pertandingan persahabatan. Dari lingkungan tersebut saya banyak mendapatkan teman baru dan pengalaman yang sangat luar biasa. Sebuah kegiatan yang berbasis kedisiplinan olahraga turut membentuk kekuatan mental saya, di tengah suatu tekanan saat permainan dan tuntutan bermain baik. Beberapa pengalaman baik dan buruk saat berlatih dan bermain sepak bola di SSB tersebutpun masih menjadi kenangan yang tak terlupakan bahkan hingga sekarang.

Menginjak kelas tiga SMP, praktis kami murid-murid kelas tiga lebih banyak disibukkan dengan kegiatan bimbingan belajar intensif untuk persiapan Ujian Akhir Nasional hingga pulang sore setiap harinya. UAN yang setiap murid menganggapnya sebagai momok, membuat kami cukup was-was dan mempersiapkannya dengan segenap tenaga dan pikiran. Alhamdulillah, akhirnya mendapatkan kelulusan 100% dan saya cukup puas dengan hasil ujian tersebut, walaupun mendapatkan nilai yang tidak terlalu tinggi. Tapi Itu lebih dari cukup bagi saya.

Memasuki fase SMA, saya mendaftar dan akhirnya berhasil masuk di salah satu SMA favorit di kota saya, SMAN 2 Ngawi. SMA yang kata orang-orang cukup unggul tidak hanya di bidang akademik, namun juga kegiatan ekstrakurikulernya. Selain itu kata orang, SMA 2 Ngawi juga lebih unggul dari segi jumlah lulusan yang diterima di perguruan tinggi. Jadi mungkin dari alasan-alasan tersebut saya lebih memilih SMA 2 Ngawi tersebut dibandingkan dengan SMA 1 Ngawi. But anyway, yang pasti saat itu saya ingin mendapatkan lingkungan belajar sebaik mungkin untuk menunjang cita-cita saya kedepan.

Inilah periode awal yang menurut saya sangat signifikan membentuk karakter saya hingga saat ini. Sebuah fase remaja yang katanya akan menjadi masa-masa paling indah. Benarkah? Tapi yang pasti saat SMA saya menjadi agak berbeda dibanding saat masih SMP. Pembedanya adalah dimana saya masuk pada hiruk pikuk aktivitas organisasi dan kegiatan-kegiatan di luar akademik. Mungkin maklum saja, masih muda dan membutuhkan ruang berekspresi, setelah berekspresi yang kurang pada tempatnya saat SMP. Masa orientasi yang begitu riuh dengan perkenalan organisasi dan kegiatan ekstrakurikuler, membuat banyak murid baru sangat ingin untuk bergabung dan menjadi aktifis muda SMA. Begitu banyak jenis kegiatan yang dikembangkan di SMA saya berada, mulai dari organisasi seperti OSIS, hingga berbagai macam beladiri dan olahraga, semua tumpah ruah di pesta perkenalan untuk para calon-calon generasi penerus bangsa kala itu.

Bak, terhipnotis oleh rayuan senior-senior yang mempresentasikan organisasinya masing-masing, saya yang saat SMP termasuk anak yang acuh tak acuh dan masa bodo dengan kegiatan sekolah, akhirnya jatuh hati pada beberapa organisasi, antara lain Majelis Permusyawaratan Siswa, Pramuka, dan Rohis/ Ta’mir Masjid Ash Sholihin. Mulai saat itulah saya memulai petualangan pencarian jati diri di fase remaja. 

Tahun pertama sebagai murid kelas 1 SMA, adalah masa adaptasi saya di awal fase ini. Warisan pembentukan masa SMP masih sangat kental di awal-awal masa itu, saya lebih untuk mengikuti arus lingkungan dan trend membawa saya.  Bermain bersama kawan-kawan, main, bercanda bersama kawan-kawan sekelas baik saat di kelas ataupun ketika dalam perjalanan Sholat dan Makan, nongkrong di belakang kelas dan bermain gitar saat sela-sela pergantian jam pelajaran, adalah bentuk sebagian rutinitas saya bersama kawan-kawan SMP kelas satu. Diluar kegiatan sekolah sendiri, sebagaimana kebiasaan anak-anak seumuran di kota saya, seringkali kami “ngangkring” lesehan di angkringan pinggir jalan dan jalan-jalan malam tak jelas kemana, khususnya bersama sahabat-sahabat dekat saya kala itu. Namun walau begitu, saya patut bersyukur masih dibersamai kawan-kawan yang walaupun agak dugal tapi masih menjaga nilai-nilai positif dengan cukup baik. Kami seringpula membiasakan rutinitas, seperti berangkat sholat dhuha bersama-sama, sholat dan makan siang bareng dan sebagian besar dari kami juga merupakan anggota beberapa organisasi, seperti rohis dan pramuka sehingga kita dapat berpartisipasi dalam organisasi bersama. Jadi, se “nyeleneh”nya kita waktu itu, kita masih termasuk perkumpulan yang positif dan masih dalam takaran kenakalan remaja yang masih wajar dan dapat dimaklumi.

Memasuki kelas dua SMA, kami harus berpindah kelas karena adanya penjurusan IPA dan IPS. Momen perpindahan kelas tersebut sekaligus menandai sebuah titik “break” dimana saya menghadirkan perbedaan dalam hal rutinitas saya kala itu. Dengan naik tingkat menjadi murid tingkat kedua dan memiliki adik tingkat, mungkin banyak sedikit mempengaruhi sekaligus mengingatkan saya bahwa “kamu sudah beranjak dewasa!” walaupun kenyataannya masih saja seperti anak ABG pada umumnya. Namun dengan kewajiban dalam organisasi yang meningkat, dari status sebagai seorang yunior dan anggota biasa menuju status sebagai seorang pengurus harian, telah membuat banyak perbedaan dengan masa kelas satu. Secara tak sadar, sedikit demi sedikit saya menjadi anggota yang cukup aktif dan berusaha memberikan peranan yang maksimal di tiga organisasi yang saya ikuti. Seorang Vempi yang saat SMP adalah seorang yang apatis terhadap kegiatan intra sekolah, mendadak menjadi seorang yang cukup aktif di kegiatan luar akademik.

Dalam perjalanannya saya terarahkan untuk aktif di dua organisasi dari tiga organisasi yang saya ikuti, yakni Pramuka dan Rohis. Di pramuka saya mendapat amanah sebagai Pradana putra dan di Rohis sebagai bidang kaderisasi sekaligus ketua acara di beberapa kegiatan. Dengan posisi tersebut waktu-waktu saya telah banyak saya investasikan di organisasi tersebut, yang membuat porsi waktu saya untuk akademik menjadi banyak berkurang. Ditambah pula keberadaan saya di lebih dari satu organisasi tersebut sekaligus membuat saya kehilangan banyak waktu untuk fokus belajar, hingga beberapa kali harus mengajukan dispensasi meninggalkan kegiatan belajar dan hampir setiap harinya saya pulang menjelang magrib bahkan setelah Isya, bahkan sering pula kami berkegiatan dengan menginap sehari atau beberapa hari di sekolah. Belum ditambah kegiatan-kegiatan lain di luar sekolah yang kadang menghabiskan waktu berhari-hari. Hingga saya sadari kala itu saya jarang sekali belajar dan belajar kalau hanya ada PR atau tugas saja, haha. Sisanya hanya memanfaatkan waktu sebaik mungkin saat pelajaran di kelas. Tapi justru hal itulah yang menjadi pembelajaran yang luar biasa bagi saya dalam hal mengatur waktu, dan sampai saat ini masih terngiang setiap detil kesulitan-kesulitan yang saya alami saat itu.

Tahap poin itulah yang menurut saya paling penting dalam mengawali tahap pencarian jati diri saya hingga saat ini. Berbagai kegiatan di luar akademik yang saya giati saat SMA memberikan sangat banyak pelajaran bagi saya. Organisasi yang saya ikuti telah menyediakan wadah yang seluas-luasnya bagi saya untuk berkembang dan mengasah kemampuan dalam segala hal. Lingkungan sosial dalam organisasi juga membuat saya belajar banyak tentang komunikasi dan bagaimana menjalin hubungan sosial, dengan berbagai macam karakter, yang itu semua sangat sedikit sekali saya dapatkan sejak kecil. Kecakapan-kecakapan yang tidak saya punyai hingga penghujung masa SMP banyak saya pelajari secara maksimal mulai dari kelas dua SMA ini.

Bersambung

1 komentar:

  1. Tahap poin itulah yang menurut saya paling penting dalam mengawali tahap pencarian jati diri saya hingga saat ini.

    http://www.hj128.vip/

    BalasHapus

Instagram