Dulu saya merasa bahwa saya adalah orang yang penyabar. Saya juga merasa saya lebih bisa memahami perasaan orang lain, saat mereka bercerita keluh kesah akan kejadian yang dia alami, atau saat mereka menunjukkan gesture tertentu yang tak biasa. Jika memang harus saya lakukan, saya tak segan untuk kemudian berempati dan mencoba menjadi bagian dari solusi atas masalah yang ia alami. Sifat sabar dan empati ini juga saya pahami atas dasar pengamatan karakter keluarga kami. Saya merasa saya mendapat banyak turunan kesamaan sifat dari ibu saya. Ibu adalah orang yang cukup melankolis dalam hal ini.
Setelah menghadapi beberapa macam keadaan yang orang lain memilih untuk menjauhi karena saya pikir mereka tak sabar, saya merasa oang yang lebih sabar dari yang lain. Kesimpulan dini itu menambah keyakinan saya dalam menghadapi masa saat saya mempunyai istri dan anak kelak, saat itu. Saya membayangkan, saya pasti bisa menjadi sosok suami dan ayah penyabar, sesulit apapun kondisinya. Saya juga pasti akan menjadi orang pertama yang menyadari ada perbedaan gesture pasangan atau anak-anak, ketika mereka merasa sedih. Saya pasti akan mendatanginya dan menanyakan "kamu kenapa?". Begitulah pikir saya saat itu. Saya cukup percaya diri atas itu. Saya merasa tempaan kesabaran yang saat itu saya alami cukup melatih saya ketika saya beranjak ke tahapan selanjutnya, bersama keluarga. Walaupun sebenarnya jika dipikir-pikir itu semua tak ada apa-apanya dibanding apa yang dialami kebanyakan orang. Nampaknya saya cukup berlebihan.
Klaim sepihak yang kita buat sendiri tanpa adanya pengujian yang layak adalah ide yang kurang baik dan terlalu dini untuk diambil. Nyatanya, kamu memiliki penilaian yang sangat subjektif dan hanya relatif terhadap apa yang kamu nilai saat itu, bukan penilaian yang lengkap.
Ujian sesungguhnya adalah ketika tingkat ujian sudah naik di level yang lebih tinggi, dimana kesabaran dan egomu sudah pantas diuji. Penempaan yang selama ini telah kita lalui akan menunjukkan respon yang sesungguhnya, matang atau tidak. Boleh jadi kita berada pada jalur dan akselerasi yang sudah tepat, atau bisa jadi klaim kita sebelumnya membawa kita ke arah jalan yang sudah benar tapi jalannya masih cukup lambat, atau bahkan lebih parahnya tidak pada jalurnya.
Waktu akan membawamu untuk menguak satu persatu pembelajaran-pembelajaran hidup yang masih belum terpelajari. Membuktikan klaim-klaim sepihak yang kamu buat sebelumnya, yang ternyata bisa jadi sesuai atau tak sesuai, dengan mengukur seberapa dekat antara ekspektasi dan realita. Tapi dikala kamu tersadar akan hal itu, maka kamu berada pada kondisi yang tepat. Kesadaran yang membawa kita menyadari kekurangan dan merespon dengan bijak akan kealpaan yang masih kita miliki dengan belajar, belajar dan terus belajar.
Belajar sabar adalah proses yang menerus. Sabar dalam satu kondisi belum tentu sabar dalam kondisi yang lain. Sabar hari ini belum tentu sabar keesokan harinya. Sabar pada orang lain belum tentu bisa sabar dengan diri sendiri. Proses menuju kesabaran adalah proses yang menuju kedewasaan. Dengan sabar semua hal akan terselesaikan dengan sebagaimana mestinya, oleh hati, bukan ego atau nafsu.
Setelah saya menjalani kehidupan berkeluarga bersama istri dan anak pertama kami, sebagai kepala keluarga, sabar terhadap diri sendiri dan orang tercinta dan terdekat adalah yang paling utama (selain sabar dalam meniti Jalan agama tentunya). Sabar terhadap ego dan nafsu diri adalah salah satu kunci kita bisa membawa bahtera keluarga ke tujuan yang kita dambakan. Sikap empati dan kepedulian terhadap perasaan dan gerak-gerik mereka adalah hal yang tak kalah penting dari sebuah kesabaran, yang pasti diinginkan oleh siapapun di dalam hubungan keluarga. Sabar dan mengerti adalah pembelajaran yang saya ulang kembali di masa-masa ini. Hal-hal yang sudah kita terapkan mungkin di waktu-waktu sebelumnya, bisa jadi belum cukup banyak dan harus lebih banyak ditambah lagi. Ibarat soal latihan ujian, tak cukup dengan soal-soal yang sesuai silabus dan kisi-kisi, tapi juga masih harus ditambah dengan latihan soal-soal pengayaan.
Pada akhirnya, semua modal yang dimiliki akan bergantung pada seberapa energi cinta dan sayang yang ada dalam diri kita. Jika cinta untuk keluarga atau orang lain itu berlimpah maka kesabaran dalam menghadapi segala sesuatunya akan terasa ringan untuk kita, sesulit apapun kondisinya. Apalagi kalau cinta itu benar-benar kita dedikasikan kepada-Nya. Maka itu sudah cukup untuk membuat semua hal di dunia ini, termasuk apa yang kita punya dan kita perjuangkan di keluarga terasa jauh lebih nikmat dan penuh makna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar