Tentang Pilihan Lanjut Kuliah (Bagian 1)

Beberapa waktu terakhir ini saya merasakan pergiliran fase kehidupan yang cukup cepat. Mulai dari 4 tahun menjadi mahasiswa, lulus, bantu dosen, kerja kontrak 6 bulan, resign, dan sekarang belum berstatus apa-apa. Entah kenapa waktu terasa begitu cepat dan berlalu begitu saja dan tiba-tiba saja saya ada di titik ini.

sumber: media.licdn.com

Saya masih ingat beberapa tahun yang lalu ketika menyusun rencana untuk beberapa tahun ke depan. Memilih jalan yang akan diambil pasca kuliah. Yakni tentang pertanyaan mau jadi apa nanti, profesi apa yang kira-kira paling cocok buat saya dan bagaimana cara meraihnya. Pilihan-pilihan itu saya pilih berdasarkan apa yang saat itu ada di benak saya, hasil pemikiran yang cukup panjang yang tak lain adalah produk seluruh proses yang selama ini saya alami. Mulai dari mahasiswa baru sampai beberapa waktu menjelang wisuda. Mulai dari sesuatu yang saya dapat dari luar, pengaruh orang-orang di sekitar saya, dan beberapa inspirasi yang datang entah dari mana. Yang di jaman modern ini kita bisa dengan mudah ter-influence oleh orang lain, yang tak ada hubungannya sama sekali dengan kita. Bahkan kenal aja engga. Nah itu semua terangkum menjadi satu tekat kuat.

Sebagai seorang mahasiswa dengan disiplin ilmu yang sudah cukup spesifik, di satu sisi kita dituntut untuk menjadi pemeran pada kehidupan pasca kuliah (baca: dunia kerja) sesuai dengan disiplin ilmu yang kita kuasai atau sesuai mainstream yang ada. Kalau kata orang, buat apa susah-susah kuliah 4 tahun, udah jadi sarjana juga, tapi kerjanya malah keluar dari bidang yang ditekuni pas kuliah, kan rugi. Mungkin persepsi-persepsi seperti itu sudah biasa kita dapati. Tapi hal yang menarik yang menjadi kesimpulan saya selama beberapa waktu ini adalah, bahwa kita sebenarnya bebas untuk memilih jalan kita. Toh juga kuliah sebenarnya tak melulu sekedar belajar ilmu akademis (teknik, kedokteran, pertanian, manajemen, bisnis dlsb). Menurut saya, proses belajar selama kuliah ini, bisa banget kita pahami sebagai pembelajaran secara umum. Tentang bagaimana belajar kehidupan, budaya, bersosialisasi, berorganisasi, berhubungan baik dengan dosen, staf dlsb. Serta yang lebih menarik lagi adalah belajar me-manajemen diri dan me-manajemen masalah yang ada di sekitar. Itu mungkin yang menurut saya, terkadang, jauh lebih penting dibandingkan dengan ilmu-ilmu eksak yang itu bisa dipelajari dengan (relatif) lebih mudah. Jika kita sepakat dengan itu, maka hipotesis tentang kita harus bekerja pada bidang ilmu kuliah atau mainstream yang ada tidak cukup berlaku, at least dalam tulisan saya ini.

Itu tadi terkait pilihan bidang kerja. Di sini saya tidak banyak membahas banyak tentang itu. Yang ingin saya bahas di sini adalah tentang orientasi pasca lulus kuliah. Bagi seorang sarjana, tantangan dunia kerja, dapat menjadi satu hal yang membutuhkan effort luar biasa untuk mendapatkannya. Bayangkan saja, berapa banyak lulusan sarjana yang diluluskan dari puluhan/ratusan perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Dan kita adalah salah satunya yang akan masuk dalam hutan perburuan lapangan kerja yang semakin ke sini, menurut orang-orang semakin sulit dan terbatas. Kenyataan atas apa yang saya sampaikan, dalam beberapa bulan ini saya alami sendiri. Dimana saya melihat banyak kenyataan bahwa para lulusan sarjana (cuma di kampus saya saja) harus berjuang apply sana-sini untuk mendapatkan pekerjaan yang cukup layak. Tak pandang bulu, universitas-universitas favorit di Indonesia pun juga harus sama-sama berjuang berkompetisi dengan ratusan ribu perguruan tinggi lainnya se-jagad Indonesia. Bahkan kadang, ironis juga ketika sebagian dari kita harus mencoba dan gagal berulang-ulang kali bahkan mereka sudah lupa berapa kali mencoba apply ke perusahaan. Tapi memang, kalau dipikir-pikir semua kembali ke kita dan sejauh mana keberuntungan menghampiri kita. Kadangkala pula kita lupa bahwa dengan merencanakan dan mempersiapkan bekal soft skill (yang kebanyakan mahasiswa masih terlalu fokus pada hard skill -akademik), serta mempersiapkan mental yang terkadang jauh lebih penting dari soft skill dan hard skill. Kalau semua sudah kita siapkan dengan baik, penentuan ada di tangan Allah, satu-satunya Zat yang menentukan rezeki kita ada dimana.

Lalu bagaimana dengan saya. Apa yang saya pilih?

Setelah proses yang berujung pada satu kesimpulan, pada saat itu akhirnya saya memutuskan untuk tidak memilih jalur mainstream dengan mendaftar di perusahaan BUMN di bidang konstruksi. Saya sudah sangat yakin dengan keputusan saya, seperti saat saya dengan PeDe-nya hanya mengisikan satu pilihan saja pada form pendaftaran SNMPTN Undangan, yakni Teknik Sipil dan Lingkungan UGM, lima setengah tahunan yang lalu. Se-simpel itulah saya memperlihatkan niat dan tekat saya pada suatu hal. Selama semester akhir, saya membulatkan tekat untuk tak melamar satupun kerja, entah itu BUMN, swasta ataupun yang lain. Di kala kawan-kawan se-jurusan berbondong-bondong mendaftar, saya lebih memilih untuk fokus pada persiapan melanjutkan Kuliah S2 di luar negeri.

Saat itu, saya sudah sangat yakin dengan pilihan saya. Namun kalau boleh jujur, pilihan itu masih menyisakan gap yang begitu luar biasa saat itu, jarak antara atas apa yang ada dalam diri saya dan target ideal yang dapat membawa saya pada tujuan itu. Saya tak merasa cukup pantas saat itu. Menurut saya anggapan itu sangat realistis, dimana kenyataannya memang saya bukan termasuk mahasiswa yang punya skill bahasa asing yang baik, dan prestasi yang mentereng. Pernyataan itu bisa jadi benar, ketika kita tahu bersama, untuk mendapatkan kesempatan kuliah di luar negeri dengan beasiswa membutuhkan kualifikasi yang tinggi atau minimal kamu punya sertifikat TOEFL ITP 550, atau IELTS 6.5 atau IBT 80 dst. Keinginan melanjutkan kuliah menjadi sangat tidak realistis bagi saya saat itu. Alih-alih punya nilai TOEFL ITP 550, hasil terakhir tes saja, nilai saya ngga nyampe 500. Itu baru tes TOEFL ITP, yang udah jarang banget dipakai sebagai standar sertifikat bahasa asing di seluruh dunia ini. IELTS/ TOEFL IBT? Boro-boro saat itu mau tes, kepikiran aja belum. Nah loh, gimana mau bertempur kalau modalnya aja belum cukup. Belum lagi pas lihat banyak orang-orang di luar sana yang lebih capable dan punya modal yang lebih dari cukup dibandingkan saya. Ga usah jauh-jauh ke luar, temen-temen se-jurusan saya saja sudah banyak yang punya nilai TOEFL diatas 550 bahkan hingga 600, sedangkan saya masih merangkak di angka standar (kebawah). Itu salah satu gap yang saya rasakan dan harus saya temukan solusinya dalam waktu beberapa bulan sebelum datang pembukaan pendaftaran S2 universitas di luar negeri saat itu.

Lepas dari keadaan yang sama sekali tak menguntungkan itu, saya masih berusaha dan berusaha untuk terus ingat orientasi jangka panjang saya, kenapa ingin lanjut kuliah lagi. Dan singkat kata jawabannya adalah “Saya ingin jadi dosen”. Saya tidak ingin menjadi kontraktor atau semacamnya, tapi saya ingin jadi dosen. Kenapa dosen? Saya punya banyak alasan untuk menjawab pertanyaan itu.

Lanjut bagian-2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram